Tokoh Muda Inspiratif Kompas #24
Fadjroel Rahman – Pegiat antikorupsi, calon Presiden independen 2009
Pada
28 Oktober lalu, tepat 81 tahun Sumpah Pemuda, tokoh mahasiswa Institut
Teknologi Bandung, 1978, M Fadjroel Rachman, yang pernah mendekam di LP
Sukamiskin, Jawa Barat, oleh rezim Orde Baru, mendeklarasikan diri
kembali menjadi calon presiden independen tahun 2014. SUHARTON
Ini merupakan deklarasi kedua Fadjroel sebagai calon presiden
(capres) setelah deklarasi pertama Februari 2009. Waktu itu
pencalonannya kandas setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materinya
terhadap capres perseorangan atau independen.
Kini, didukung gerakan nasional independen, Fadjroel maju kembali
sebagai capres. Ia mengaku tak ingin mencari keuntungan sendiri menjadi
capres RI, tetapi ingin mengembalikan hak konstitusional warga lainnya
bisa maju sebagai capres.
Bahkan, Fadjroel yang juga aktif ikut gerakan antikorupsi memiliki
harapan, yaitu jika calon independen bisa memenangkan uji materi, tidak
hanya kelompok demokrasi yang bisa masuk ”merebut negara”, tetapi juga
berkiprah mengawal pemberantasan korupsi dan melawan mafia hukum secara
semesta.
Optimismenya maju kembali dan ”menembus” MK berawal keberhasilannya
ketika ia dan kawan-kawannya ”memenangkan” uji material di MK, 23 Juli
2007, yaitu calon independen untuk pemilu kepala daerah.
Untuk memuluskan pencalonannya, Fadjroel tidak hanya mengurus uji
materi ke MK, tetapi juga merevisi UU Partai Politik agar parpol bisa
melaksanakan konvensi penentuan calon dan juga melakukan amandemen UUD
1945.
Menurut Fadjroel, ”kemenangan demokrasi” itu tinggal selangkah lagi.
Bagaimana pemikirannya, seperti apa mimpinya atas sebuah negeri tanpa
korupsi serta upaya ”perlawanan” mengenai antidemokrasi. Terkait itu,
Kompas mewawancarainya, beberapa waktu lalu. Inilah sebagian
wawancaranya.
Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III menimbulkan ”keributan”.
Bagaimana Anda melihat dan memetik pembelajaran pertemuan itu bagi
demokrasi?
Proses demokrasi yang terpenting, menurut saya, adalah dialog, ada
kesetaraan yang argumentatif dan rasional. Apa pun masalahnya bisa
dibicarakan dalam pemahaman itu. Kita menghindari monolog selama 32
tahun hidup di era Orde Baru.
Kami datang dengan satu pikiran, Komisi III bisa menjelaskan mengapa
mereka bisa membuat kesimpulan bersama kejaksaan yang mendesak Kejaksaan
RI menangani perkara dua pimpinan KPK yang nonaktif. Sementara Tim
Delapan, yang dibentuk Presiden, membuat rekomendasi yang fakta dan
proses hukum yang dimiliki Polri tidak cukup bagi dilanjutkannya proses
hukum pimpinan KPK.
Pertanyaannya, Komisi III menentang rekomendasi Tim Delapan. Kami
sebenarnya memohon satu dialog yang komunikatif sehingga ada alasan
rasional dan obyektif.
Maksudnya?
Tampaknya mereka masih merasa sebagai pejabat negara dan bukan
seorang politisi publik yang bertanggung jawab. Ketika kami berkali-kali
menanyakan itu, jawabannya mengambang dan seolah-olah kedatangan kami
mengorbankan waktu.
Puncaknya, saat guru besar UI Tamrin Tomagola menjadi kesal. Mengapa
pertanyaan yang jelas justru tidak dijawab dengan rasional obyektif,
tetapi malah berputar-putar dan suara yang agak keras. Kesimpulan saya,
mereka tidak siap berdialog. Padahal, bangunan demokrasi itu jantungnya
dialog rasional dan obyektif.
Kira-kira apa yang menjadi penyebab? Apakah terjadi kesenjangan kaum intelektual dan kaum politisi?
Menurut saya, partai politik memang seharusnya menyeleksi lebih dulu
terhadap anggota-anggota yang bertarung di pemilu. Akan tetapi, ternyata
parpol tidak memilih calon terbaik, tetapi diserahkan pada seleksi
masyarakat sehingga hasilnya seperti ini. Padahal, rakyat tidak punya
pendidikan demokrasi yang kuat saat memilih.
Mengapa bisa begitu?
Saya kira karena pendidikan politik di Indonesia atau demokrasi,
seperti pernah saya katakan, baru ”satu derajat di atas nol”. Artinya,
seolah-olah demokrasi itu eksis setelah kita bebas dari cengkeraman Orde
Baru, yakni dengan mendirikan partai politik dan menggelar pemilu.
Akan tetapi, tidak ada ajaran yang kuat terhadap hak-hak mereka,
yaitu hak sipil, bagaimana orang mengenali bahwa kalau menyuarakan
pikiran itu adalah sebuah kebebasan dan apa yang disuarakan itu
kepentingan dasar.
Jadi, demokrasi yang diperjuangkan hanya yang prosedural. Tetapi,
inti dari demokrasi, yaitu orang membela hak sipil, hak politik, hak
ekonomi, hak sosial, dan hak budaya itu, tidak terjadi. Akibatnya,
mereka memilih orang dan bukan orang atau wakil rakyat yang mau membela
kelima hak dasar itu saja.
Dalam reformasi 11 tahun ini, pendidikan demokrasi atau pendidikan
hak dasar itu relatif baru. Sementara demokrasi kita dibajak para
individu yang antidemokrasi. Mereka orang-orang yang bercokol selama
rezim totaliter Orde Baru. Inilah yang ”memenjarakan” para fraksi di
DPR. Padahal, seharusnya aktor-aktor demokrasi itu yang harus mengisi
lima arena, yakni arena politik, ekonomi, masyarakat bisnis, civil
society, birokrasi, dan arena hukum. Demokrasi hanya bisa berjalan jika
lima wilayah diisi oleh aktor-aktor demokrasi.
Mengapa kita tidak menjalankan demokrasi substansial?
Ibarat sekolah, kita masih kelas satu. Padahal, kemarin ketika
reformasi kita punya kesempatan dan momentum emas untuk menjalankan hak
dasar. Momentum waktu itu adalah saat reformasi mendorong hak-hak dasar
saat mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, waktunya
dibatasi untuk kasus setelah 1999. Demikian Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) yang tidak jadi diteruskan pembentukannya serta
restrukturisasi utang luar negeri yang harus dijalankan. Akibatnya,
momentum itu hilang dan korupsi masih tidak bisa dihilangkan hingga saat
ini.
Jadi, korupsi tidak mungkin pupus?
Ada hari di mana kita bermimpi bahwa korupsi itu hanya ada di museum
nasional dan di sana terdiri dari diorama-diorama. Kita juga bermimpi
Indonesia yang bebas kemiskinan sehingga anak cucu kita bisa dibawa
melihat diorama kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, buruh, dan
lainnya.
Kalau anak cucu kita bertanya, bagaimana korupsi itu, mimpi saya itu,
mari kita bawa ke museum nasional. Misalnya, museum tentang BLBI,
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Di situ digambarkan
orang-orangnya, lalu ada diorama bagaimana mereka korupsi. Bisa saja,
ada diorama korupsi di PT Masaro Radiokom, diorama gratifikasi Bank
Indonesia, dan diorama lainnya yang menjadi masa lalu bangsa kita.
Tidak bisa momentum baru untuk mengembalikan semuanya kembali?
Saya berpikir bahwa momentum itu baru terjadi pada tahun 2014, yaitu
ketika terjadi regenerasi nasional, ketika semua lembaga politik dan
lima arena akan diisi generasi baru, generasi non-Orde Baru dan
non-Soeharto. Saya yakin bisa, berdasarkan adanya pergeseran regenerasi
politik dari sekarang ini.
Selasa, 24 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar